Orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek)
memang identik dengan perploncoan, padahal tidak selalu demikian halnya.
Apapun, telah banyak kritik dan penentangan dari masyarakat. Ada banyak yang
mengajukan argumen tentang mengapa ospek
perploncoan harus dihapuskan. Mengapa ospek perploncoan masih terus lestari
hingga sekarang dan juga tentang pemikiran saya mengapa pengondisian keras
masih dibutuhkan.
Bagi
Anda yang sudah berkutat lama dengan issue ospek dan pengkaderan massal
mahasiswa baru, mustinya pertanyaan berikut sudah tak asing:
Mengapa sih ospek perploncoan susah
dihapuskan? Apa yang membuat aktivitas ini begitu berharga sehingga segala
upaya yang dilakukan pihak rektorat untuk menghapusnya seringkali berakhir
dengan keberatan luar biasa dan kegagalan?
Sesuai
dengan namanya, apakah tujuan awal dari Ospek adalah untuk membantu mahasiswa
baru mengenal program studi dan kampusnya? Iya, memang. Tapi bukan itu
Perlu kita ketahui bahwa fenomena Ospek dengan
perploncoan ini juga terjadi di negara-negara lain (silahkan googling dg
keyword initiation ceremonies).
Konsep Ospek Perploncoan sudah dikenal sejak lama. Suku Thonga dari
Afrika Selatan adalah salah satu suku tertua yang masih memelihara tradisi
perploncoan untuk anak lelaki yang ingin mendapat pengakuan sebagai seorang
lelaki dewasa.
Ketika seorang bocah telah berusia antara 10 hingga 16 tahun, dia
dikirim oleh orang tuanya di “curcumcision school” yang diselenggarakan tiap 4
atau 5 tahun sekali.
Ritual
inisiasi ini dimulai dengan berlarinya setiap bocah dalam garis panjang yang di
sana telah berbaris para lelaki dewasa yang akan memukuli mereka dengan tongkat
kayu di sepanjang perjalanan. Di akhir perjalanan, baju sang bocah akan
dilucuti dan rambutnya dicukur habis.
Dia
lalu harus menjalani tiga bulan masa inisiasi untuk menjalani enam ujian utama:
dipukuli (oleh lelaki dewasa yang telah dilantik), bertahan dalam cuaca dingin
tanpa baju dan selimut, kehausan, makan makanan yg sungguh tak enak &
layak, dihukum (semisal dg meremukkan jari ketika ketahuan melanggar aturan),
dan terancam tewas selama menjalani ritual.
Semua ini mengingatkan saya pada cerita di
film 300! di mana pemuda Spartan harus menjalani masa2 dengan ritual inisiasi
yang mirip dengan suku Thonga ini.
Ospek perploncoan suku tribal dan spartan memang amat keras, namun seluruh aktivitas perploncoan mereka relevan dengan untuk apa mereka dimaksudkan hidup; yakni petarung untuk berperang.
Ospek perploncoan suku tribal dan spartan memang amat keras, namun seluruh aktivitas perploncoan mereka relevan dengan untuk apa mereka dimaksudkan hidup; yakni petarung untuk berperang.
Memang aneh, tapi perploncoan modern juga
memiliki enam unsur yang sama dengan ospek di tribal world; mulai dari
pemukulan, exposure pada dingin, siksaan haus, makan makanan yang memuakkan,
hukuman, hingga ancaman kematian.
Seperti ospek yang dilakukan di salah satu kampus ternama di Bandung, di
sana mahasiswa baru diinjak-injak senior secara beramai-ramai, long march di
gunung dalam keadaan kurang makan, kurang minum, dan tidur pun di atas pohon.
Sementara di kampus lain perploncoan di kampus lain di Jawa Barat
-seperti yang kita tahu- telah mengakibatkan kematian dari salah satu prajanya.